Bab 3
Agatha mengenakan mantel putih yang halus, anting mutiara putih di telinganya membuatnya terlihat lembut dan elegan.
Selendang di lehernya saja bernilai puluhan juta rupiah. Pelayan bergegas menyambutnya begitu melihatnya, “Nyonya Irwin, Tuan Harvey tidak menemani Anda memilih perhiasan hari ini?”
“Nyonya Irwin, toko kami kembali kedatangan model perhiasan terbaru, setiap jenisnya sangat cocok untuk Anda.”
“Nyonya Irwin, zamrud yang Anda pesan waktu itu telah tiba. Anda bisa memakainya nanti, pasti sangat cocok dengan warna kulit Anda.”
Pelayan itu tidak berhenti menawarkan produk pada Agatha. Agatha menatap Selena sambil tersenyum, tatapannya yang penuh rasa puas itu seakan menyatakan kemenangannya.
Seluruh dunia tahu bahwa Harvey memanjakannya seperti permata, tetapi tidak ada yang tahu bahwa Selena adalah istri yang sah.
Selena mengepalkan tangannya sambil berkpikir, “Mengapa aku bertemu dengan orang yang tidak ingin kutemui di saat yang paling menyedihkan?”
Agatha bertanya dengan lembut, “Jika kamu ingin menjual cincin yang berkualitas tinggi ini dengan cepat, maka kamu akan rugi banyak.”
Selena mengulurkan tangan dan menyambar kotak cincin itu, lalu berkata dengan ekspresi wajah marah, “Aku tidak jadi menjuainya.”
“Tidak jadi menjualnya? Sayang sekali, padahal aku cukup menyukai cincin ini. Karena kita saling kenal, sebenarnya aku berencana untuk membelinya dengan harga tinggi, bukankah Nona Selena sedang kekurangan uang?”
Tangan Selena menjadi terasa kaku. Ya, dia memang benar-benar kekurangan uang. Karena Agatha mengetahuinya, sehingga Agatha pun menginjak-injak harga dirinya tanpa belas kasihan.
Pelayan di sekitarnya sibuk memberi nasihat, “Nona, dia adalah tunangan direktur Grup Irwin. Sungguh jarang Nyonya Irwin bisa menyukai cincinmua, dia pasti akan memberimu harga yang bagus, sehingga kamu tidak perlu menunggu prosedur dari pihak kami untuk mendapatkan uang.”
Betapa menyakitkan panggilan “Nyonya Irwin” ini. Jelas-jelas setahun yang lalu Selena bersumpah untuk mengatakan kepada Agatha bahwa dia tidak akan pernah bercerai, agar Agatha menguburkan niat untuk bisa mendapatkan Harvey.
Satu tahun baru saja berlalu, semua orang sudah mengetahui identitasnya. Selena semakin merasa bahwa pernikahan dirinya dengan Harvey hanyalah sebuah siasat.
Saat melihat bahwa Selena merasa ragu-ragu, Agatha pun tersenyum bahagia sambil berkata, “Nona Selena, sebutkan saja harganya.”Ccontent © exclusive by Nô/vel(D)ra/ma.Org.
Wajah licik itu benar-benar menjijikkan. Selena menatapnya dengan dingin dan berkata, “Aku tidak jadi menjualnya.”
Agatha menolak untuk melepaskannya. “Nona Selena sudah di ujung tanduk, mungkinkah masih memedulikan harga diri? Jika aku adalah Nona Selena, aku akan melepaskannya dengan senang hati. Sepertinya tidak ada orang yang memberitahumu bahwa jika kamu bersikeras tidak mau melepaskan sesuatu, wajahmu akan terlihat sangat buruk rupa.”
“Omongan Nona Agatha ini benar-benar menggelikan. Kamu sangat bangga dengan barang hasil rampasanmu itu. Jika memang suka merampas, mengapa tidak pergi merampok bank saja?”
Saat keduanya berdebat, cincin dari kotak perhiasan itu melayang keluar, lalu terdengar suara “tringgg” saat cincin menghantam lantai.
Selena dengan cepat mengejarnya. Cincin itu langsung terlempar ke arah pintu dan berhenti di depan sepasang sepatu kulit buatan tangan yang indah.
Selena membungkuk untuk mengambilnya. Setetes air dari atas kepala orang itu jatuh di lehernya, rasanya begitu dingin sampai menusuk ke tulang.
Dia perlahan mendongak, lalu terlihat tatapan sepasang mata yang dingin. Payung hitam yang dipegang oleh Harvey belum ditutupnya, sehingga tetesan air hujan bergulir dari permukaan payung yang melengkung dan jatuh di kepala Selena.
Mantel wol hitam yang halus membuat sosok Harley terlihat tinggi besar dan gagah.
Selena kebingungan saat menatapnya. Dia teringat saat pertama kali bertemu Harley. Waktu itu, Harley baru berusia dua puluh tahun, berdiri di taman bermain yang dipenuhi sinar matahari dengan mengenakan kemeja putih, seolah-olah dia berdiri di puncak hati Selena. Pemandangan itu selamanya terpatri di hatinya. Pada saat itu usia Selena baru empat belas tahun.
Dia mengenakan sweater rajutan, teksturnya yang berbulu halus membuatnya terlihat semakin kurus, dagunya yang lancip pun terlinat lebih kurus daripada tiga bulan sebelumnya.
Harley terlihat sangat terhormat, sementara Agatha begitu rendah seperti debu.
Gerakan Selena untuk mengambil cincin itu pun terhenti seketika. Pada saat itu juga, pria itu mengangkat kakinya dan menginjak cincin itu dengan satu kaki, lalu melewati Selena tanpa ekspresi di wajahnya.
Selena masih setengah berjongkok. Cincin ini dirancang oleh dirinya sendiri sesuai dengan desain kesukaannya, tidak mencolok, bentuknya unik, hanya ada satu-satunya di dunia.
Setelah memakainya, Selena tidak pernah melepasnya, kecuali saat mandi.
Jika bukan karena dia saat ini benar-benar kekurangan uang, dia juga tidak berencana menjualnya. Namun, benda yang dia anggap sebagai benda berharga ini hanya dianggap sampah di mata orang lain.
Bukan cincin yang diinjak pria itu, melainkan masa lalu Selena yang berharga.
Agatha tersenyum sembial berjalan mendekat ke arah pria itu, lalu menjelaskan, “Harley, kau sudah datang? Kebetulan aku baru saja memilih perhiasan, lalu aku melihat Nona Selena menjual cincinnya.”
Wajah dingin Harley tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Matanya yang sedingin es itu menatap ke arah wajah Selena dengan penuh amarah, lalu bertanya dengan nada bicara yang dingin, “Kamu menjual cincin ini?”
Selena menahan air matanya sambil menggigit bibirnya untuk menahan diri agar tidak menangis. “Ya, apakah Tuan Harvey ingin membelinya?”
Harley tersenyum mengejek sambil berkata, “Aku masih ingat Nona Selena pernah berkata betapa pentingnya cincin ini bagimu, tetapi sepertinya ketulusanmu tidak sampai sebesar itu. Benda yang sudah tidak ada ketulusan bagiku hanyalah sampah.”
Baru saja ingin menanggapinya, rasa sakit yang membara di perut Selena kembali mengganggu sarafnya. Seiring dengan pertumbuhan tumornya yang semakin besar, rasa sakit yang awalnya ringan, sekarang menjadi terasa seakan jantungnya tertusuk-tusuk.
Selena memandangi Harvey dan Agatha tampak begitu serasi. Pria yang gagah dan wanita cantik ini berdiri di bawah cahaya lampu yang terang. Mereka seakan tampak seperti pasangan yang paling ideal di dunia ini.
Selena tiba-tiba tidak memiliki kekuatan lagi untuk berdebat. “Apa pun yang kamu berikan kepada pria yang sudah berubah hatinya, dia tidak akan peduli padamu lagi meskipun kamu membuka hatimu sepenuhnya untuk dirinya,” pikir Selena.
Selena mencoba menahan rasa sakitnya dan mengambil cincin itu, lalu perlahan-lahan dia berjalan kembali ke kasir untuk mengambil kotak dan sertifikat cincinnya.
Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Harley. Meskipun dia harus pingsan karena rasa sakit, dia tetap mempertahankan langkah kakinya dengan tegar.
Saat berjalan melewati Harvey, dia berkata dengan pelan, “Sama seperti Tuan Harvey, dulunya aku menganggapnya sebagai hidupku, Ternyata sekarang dia hanyalah batu yang bisa ditukar dengan uang.” Harley merasa ada yang tidak beres dengan Selena. Dahi Selena yang halus itu dipenuhi keringat, wajahnya tampak pucat
hingga seputih kertas, seolah-olah dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit.
Sebuah tangan yang besar tiba-tiba menarik lengan Selena, lalu terdengar suara dengan nada bicara yang rendah, “Ada apa denganmu?”
Selena menepis tangan Harvey sambil berkata, “Tidak ada hubungannya denganmu.”
Tanpa menoleh ke belakang lagi, Selena mencoba menegakkan punggungnya, lalu pergi dan menghilang dari pandangan Harvey.
Harvey pun menatap kepergian Selena. Jelas-jelas Harvey sendiri yang memilih untuk mencampakkan Selena, tetapi mengapa sekarang Harvey malah masih merasa sakit hati?
Selena mencari tempat yang sepi, lalu segera mengeluarkan obat penghilang rasa sakit dari tasnya.
Dia tahu bahwa semua proses penyembuhan dan obat anti kanker akan memiliki efek samping, jadi dia hanya membeli beberapa obat penghilang rasa sakit dan obat lambung biasa. Ini bisa membuatnya merasa lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sambil memandangi hujan deras, dia pun berpikir, “Apakah itu adalah satu-satunya jalan keluar?” Harvey adalah orang yang tidak ingin dia temui. Namun, demi ayahnya, Selena hanya bisa berjuang. Selena segera pulang ke rumah dan membersihkan dirinya yang berantakan. Setelah itu, barulah dia naik taksi ke Vila Permata.
Setahun lebih yang lalu, saat kembali dari luar negeri, ibunya menelepon dirinya. Lebih dari sepuluh tahun tidak bertemu, entah bagaimana keadaan ibunya sekarang.
Selena memandangi vila yang indah itu, sepertinya kehidupan ibunya cukup baik selama ini.
Setelah mengatakan maksud kedatangannya, seorang asisten rumah tangga membawa Selena ke ruang tamu. Di sana duduk seorang wanita yang elegan dan cantik, masih secantik yang dia ingat.
“Selena.” Mata yang indah itu melihat ke arah Selena.
Namun, panggilan “Ibu” tetap tidak bisa terucap dari mulut Selena.